Monday, October 30, 2017

Senjata Cakra di Atas Wihara

Senjata Cakra dikenal dalam mitos perwayangan merupakan senjata yang di anugerahkan kepada titisan Hyang Wisnu. Pada perang Bharatayudha, senjata cakra digunakan oleh Sri Kresna untuk tipu muslihat menutup sinar matahari sehingga sinar matahari tampak suram seolah hari menjelang malam. Tipuan ini digunakan ketika Arjuna bersumpah akan mati bertunu (terbakar) jika pada hari itu dia tak dapat membunuh Jayadrata yang telah membunuh anaknya. Karena sumpah ini terdengar oleh pihak Kurawa, maka disembunyikanlah Jayadrata.

Karena matahari sudah meredup maka tergodalah Jayadrata keluar dari persembunyiannya, dan Sri Kresna menyuruh Arjuna melepaskan panah mengenai Jayadrata dan terpenggallah kepala Jayadrata. Setelah kejadian ini, Sri Kresna menarik cakranya kembali  dan terang benderanglah sinar matahari seperti sedia kala dan riuh rendah suara pihak pandawa.

Senjata Cakra ini sangat di kenal oleh komunitas yang tinggal di tepi hutan Tirtoarum sebagai orang pinggiran yang seolah mengartikan permohonan maklum atas keterbatasan atau ketertinggalan, ketidakbedayaan ketidaktahuan mereka terhadap banya hal, mengingat akses terhadap peradaban yang terhambat oleh sulitnya medan dan terbatasnya sarana transportasi.

Komunitas ini di pimpin oleh Mbah Kerto, yang untuk memenuhi persyaratan sebagai warga negara, maka komunitas Mbah Kerto memilih menjadi umat Buddha Theravada, namun tetap memelihara tradisi Buddha Siwa.  Senjata Cakrta di pasang diatas vihara di bawah pengeras suara, yang di bangun pada tahun 1980. Komunitas ini tetap mendaras mantra mantra Hong Wilaheng dan melanjutkan ritual ritual Budhojawi/Wisnu. Vihara ini di sebut sebagai Sanggar Pamujan.

Pemilihan Agama Buddha Theravada tidak lain karena pola bertahan hidup komunitas Budhojawi karema pasca bencana politik 1965. Budhojawi di bekukan pada saat agama agama lain gencar melakukan missionarisnya, dan warga negara Indonesia harus memiliki agama yang di akui negara untuk menghindari tuduhan athes yang bisa di konotasikan identik dengan komunis yang di larang.

Seorang narasumber menceritakan bahwa beberapa penganut Budhojawi bergabung dengan Hindu, sementara sebagian bergabung dengan Budha Tengger, tapi akhirnya di larang oleh pemerintah. Sebagian bergabung dengan Islam, bahkan Pak Modin mengatakan,”Mbok awor karo sing akeh wae, ben tentrem …”

Namun kelompok aksi yang mengklaim bagian dari KAMI/KAPPI mendobrak rumah rumah umat ex Budhojawi  yang sudah masuk Islam dimana sedang ada pengajian dan memaksa mereka melakukannya di masjid. Karena kekecewaan atas tindakan kasar ini, maka banyak yang berpindah ke Hindu. Namun dikatakan bahwa tidak boleh di makamkan dalam komplek yyang sama dengan warga Muslim, kendati itu adalah makam desa dan bukan makam wakaf.

Akhirnya beberapa eks Budhojawi masuk Islam, sebagian tetap Hindu, sebagian masuk Katolik dan Protestan. Sementara yang kental rasa penghayatannya bergabung dengan Buddha Dharma, dimana dalam Buddha Dharma terdapat Sangha Theravada dan Sangha Mahayana.

Perubahan ini merubah pola beragama komunitas Mbah Kerto, yang menganggap agama adalah urusan pribadi, tiba tiba harus menyesuaikan diri….

Novel ini di tulis dengan gaya etnografi oleh Nusya Kuswantin ketika menyelesaikan S2 Jurusan Antropologi. Falkutas Ilmu Budaya UGM. Yogyakarta. Penulisan ini membuat kita mengerti sisi pandang antropologi tanpa perlu pusing dengan istilah istilah ilmiah yang sulit di mengerti.

Judul
:
Senjata Cakra di Atas Wihara
Penerbit
:
Yayasan Wiwara Yogyakarta
ISBN
:
978-602-9087-14-7
Cetakan
:
Pertama, Maret 2017


No comments:

Post a Comment

Artikel Terbaru

Workbook Analisis Teknikal

Pertama kali saya membaca buku ini, saya langsung tertarik karena merupakan workbook yang belum pernah saya lihat sebelumnya.  Saya ...

Artikel Rekomendasi