Senjata
Cakra dikenal dalam mitos perwayangan merupakan senjata yang di anugerahkan
kepada titisan Hyang Wisnu. Pada perang Bharatayudha, senjata cakra digunakan
oleh Sri Kresna untuk tipu muslihat menutup sinar matahari sehingga sinar
matahari tampak suram seolah hari menjelang malam. Tipuan ini digunakan ketika
Arjuna bersumpah akan mati bertunu (terbakar) jika pada hari itu dia tak dapat
membunuh Jayadrata yang telah membunuh anaknya. Karena sumpah ini terdengar
oleh pihak Kurawa, maka disembunyikanlah Jayadrata.
Karena
matahari sudah meredup maka tergodalah Jayadrata keluar dari persembunyiannya,
dan Sri Kresna menyuruh Arjuna melepaskan panah mengenai Jayadrata dan
terpenggallah kepala Jayadrata. Setelah kejadian ini, Sri Kresna menarik
cakranya kembali dan terang benderanglah
sinar matahari seperti sedia kala dan riuh rendah suara pihak pandawa.
Komunitas
ini di pimpin oleh Mbah Kerto, yang untuk memenuhi persyaratan sebagai warga
negara, maka komunitas Mbah Kerto memilih menjadi umat Buddha Theravada, namun
tetap memelihara tradisi Buddha Siwa. Senjata
Cakrta di pasang diatas vihara di bawah pengeras suara, yang di bangun pada
tahun 1980. Komunitas ini tetap mendaras mantra mantra Hong Wilaheng dan
melanjutkan ritual ritual Budhojawi/Wisnu. Vihara ini di sebut sebagai Sanggar
Pamujan.
Pemilihan
Agama Buddha Theravada tidak lain karena pola bertahan hidup komunitas
Budhojawi karema pasca bencana politik 1965. Budhojawi di bekukan pada saat
agama agama lain gencar melakukan missionarisnya, dan warga negara Indonesia harus
memiliki agama yang di akui negara untuk menghindari tuduhan athes yang bisa di
konotasikan identik dengan komunis yang di larang.
Seorang
narasumber menceritakan bahwa beberapa penganut Budhojawi bergabung dengan
Hindu, sementara sebagian bergabung dengan Budha Tengger, tapi akhirnya di
larang oleh pemerintah. Sebagian bergabung dengan Islam, bahkan Pak Modin
mengatakan,”Mbok awor karo sing akeh wae, ben tentrem …”
Namun
kelompok aksi yang mengklaim bagian dari KAMI/KAPPI mendobrak rumah rumah umat
ex Budhojawi yang sudah masuk Islam dimana
sedang ada pengajian dan memaksa mereka melakukannya di masjid. Karena
kekecewaan atas tindakan kasar ini, maka banyak yang berpindah ke Hindu. Namun
dikatakan bahwa tidak boleh di makamkan dalam komplek yyang sama dengan warga
Muslim, kendati itu adalah makam desa dan bukan makam wakaf.
Akhirnya
beberapa eks Budhojawi masuk Islam, sebagian tetap Hindu, sebagian masuk
Katolik dan Protestan. Sementara yang kental rasa penghayatannya bergabung
dengan Buddha Dharma, dimana dalam Buddha Dharma terdapat Sangha Theravada dan
Sangha Mahayana.
Perubahan
ini merubah pola beragama komunitas Mbah Kerto, yang menganggap agama adalah
urusan pribadi, tiba tiba harus menyesuaikan diri….
Novel
ini di tulis dengan gaya etnografi oleh Nusya Kuswantin ketika menyelesaikan S2
Jurusan Antropologi. Falkutas Ilmu Budaya UGM. Yogyakarta. Penulisan ini
membuat kita mengerti sisi pandang antropologi tanpa perlu pusing dengan
istilah istilah ilmiah yang sulit di mengerti.
Judul
|
:
|
Senjata Cakra di
Atas Wihara
|
Penerbit
|
:
|
Yayasan Wiwara
Yogyakarta
|
ISBN
|
:
|
978-602-9087-14-7
|
Cetakan
|
:
|
Pertama, Maret 2017
|
No comments:
Post a Comment