Peranakan
Tionghoa sebenarnya adalah kelompok masyarakat Tionghoa di Indonesia yang
sebenarnya heterogen, namun untuk memudahkan maka di kelompokan dalam istilah Peranakan
Tionghoa. Masyarakat Tionghoa sendiri terdiri dari berbagai suku yaitu hakka,
hokkian, konghu, tio ciu, dan lain lain dengan sifat dan karakteristik yang
sebenarnya berbeda juga.
Buku
ini menulis tentang bagaimana Peranakan Tionghoa melebur sempurna di Bali
dengan kebudayaan Barong Landung, dimana Barong Landung mengenang perkawinan
Raja Jaya Pangus dan Kang Tjin We. Syarat nikah yang di minta oleh Kang Tjin We
adalah uang kepeng Tiongkok, yang kemudian digunakan oleh masyarakat Bali dalam
upacara keagamaan.
“Pengunaan
dupa oleh masyarakat Bali juga di adopsi dari tradisi Tionghoa, juga sejumlah
tarian dan pelbagai produk seni ukir Bali,” ujar Suwagatha yang berasal dari
Ubud, Kabupaten Gianyar, yang merupakan jantung budaya Bali.
Kemudian
Cina Benteng yang berbeda nasibnya dengan suku Betawi, walau sama sama berkulit
gelap, bermata lebar dan memegang pacul, tetapi mereka tetap memiliki meja abu
leluhur. Istilah ini mengacu kepada keberadaan benteng di sisi timur sungai
Cisadane. Dari Peranakan cina benteng di hasilkan musik gambang kromong dan
cokek.
Komunitas
Cina Benteng berakulturasi secara alamiah dan terajdi kawin campur dengan
perempuan setempat, keturunan mereka mengikuti Bahasa Ibu mereka yaitu dialek
Melayu Pasar. Penggunaan istilah istilah hokkian untuk hirearki keluarga tetap
digunakan. Dengan adanya perkembangan usaha property, maka beberapa sawah sudah
di konversi menjadi perumahan sehingga budaya macul komunitas tersebut perlahan
tapi pasti akan tergusur.
Pembangunan
Batavia sebagai pusat perdagangan oleh Jan Pieterzoen Coen (J.P. Coen) akan
gagal apabila JP Coen tidak berhasil membujuk Kapiten Sow Beng Kong dan 400
orang Tionghoa pindah ke Batavia. Di Batavia, Sow Beng Kong memegang lisensi
penyelenggaraan judi di Batavia, saudagar kapal, kontraktor dan pedagang. Namun
perintis perekonomian pertama di Batavia sudah di lupakan. Makam nya menyembul
di Gang Taruna yang sempit di sisi Jalan Pangeran Jayakarta dan tertulis
sekilas riwayat Souw Beng Kong sebagai handelaar [pedagang].
Budaya
China di Glodok Pancoran adalah komunitas tertua yang masih hidup di kota
Jakarta. Beberapa pedagang obat obatan dan sinshe merupakan generasi ke 4.
Bahkan tercatat tokoh militer jepang, Westerling hingga Aktor Hongkong suka
jajan di pecinan glodok. Restoran Zhong Hua dikenal mengirim babi
panggang utuh ke Istana Gubernur Jendral dalam peringatan ulang tahun Ratu
Belanda.
Namun
masa keemasan daerah Glodok Pancoran sudah meredup.
Komunitas
Peranakan Tionghoa merupakan perintis sekolah berbahasa Inggris pertama di
Indonesia. Pada awal abad ke – 20, para guru guru terbaik didatangkan ke
sekolah barbahasa inggris ini.
Sedemikian tinggi mutu pendidikan sekolah Tionghoa di Batavia sampai
didirikan sekolah serupa di Malaya dan Singapura dengan mengadopsi model
Batavia. Namun pada periode akhir 1940 an hingga 1950-an, belasan sekolah
pengantar Bahasa Inggris harus di tutup.
Ada
hal menarik mengenai perkawinan campur di daerah Maluku dan Papua, menghasilkan
wajah wajah Peranakan Tionghoa berwajah Brasil. “Peranakan Cina dengan Papua
sudah terkenal ganteng dan cantik – cantik , dan mereka duduk sebelah
menyebelah. Itulah harmoni Peranakan Tionghoa di Papua dan Maluku.
Ini
adalah hal hal yang di bahas oleh Iwan Santosa dalam buku ini, di tulis dengan
ringan dan mudah di mengerti. Ini adalah buku sejarah popular yang perlu di
miliki oleh kita. Iwan Santosa sendiri
menurut buku ini adalah wartawan Kompas (2001-2012), sehingga perjalanan
jurnalistik nya membuatnya mendapatkan cerita cerita ringan di seputar
Indonesia.
Judul
Pengarang
|
:
:
|
Peranakan
Tionghoa di Nusantara, Catatan Perjalanan dari Barat ke Timur
Iwan
Santosa
|
Penerbit
|
:
|
Penerbit
Buku Kompas
|
ISBN
|
:
|
978-979-709-641-0
|
Cetakan 2, Agustus 2012
No comments:
Post a Comment